Situs Islam: Klub Sekolah Mentoring Agama Islam

Posts Tagged ‘ilmu islam’

Studi Hidrologi dalam Khazanah Islam

Posted by WD on August 3, 2009


Hidrologi atau ”Ilmu Air” merupakan cabang ilmu teknik sipil yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh bumi, termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air. Di era kejayaan peradaban Islam, para ilmuwan Muslim telah memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan hidrologi.

Salah seorang ilmuwan Muslim yang berjasa mengembangkan studi hidrologi adalah Muhammad al-Karaji, seorang saintis terkemuka dari Karaj, Persia. Lewat Kitab Inbat al-miyah al-Khafiya, al-Karaji mengkaji dan menyumbangkan pemikirannya dalam ilmu ekstraksi air bawah tanah. Berkat kehebatannya, ia bahkan mendapat julukan sebagai pelopor mesin air.

Studi hidrologi dibahas al-Kajari dalam Kitab Inbat al-Miyah al-Khafiya yang ditulisnya sekitar tahun 1000 M. Buku itu membahas cara untuk memperoleh atu mendapatkan  air yang terdapat di bawah tanah. Air tersembunyi itu bisa dimanfaatkan untuk menggerakan roda ekonomi dan kehidupan sosial.

Menurut para sejarawan, al-Karaji, menulis karya matematikanya di Baghdad, namun ia menyusun bukunya secara diam-diam  di perairan di wilayah Jaba, Persia. Di wilayah itu terdapat pengembangan beberapa proyek hidrolik, termasuk qanat.

Inbat al-Miyah al-Khafiya merupakan  satu-satunya buku teknik mesin karya Al-Karaji. Buku tersebut dicetak ulang pada era modern  di Haydarabad  tahun 1940. Edisi lain dikeluarkan pada tahun 1997 oleh Institute of Arabic Manuscripts di Kairo. Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh H  Khadiv-Djam pada 1966.

Buku itu juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Prancis oleh Aly Mazaheri pada 1973. Dan muncul baru-baru ini dalam terjemahan bahasa Italia tahun 2007. Tidak ada terjemahan lengkap dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman.  Kitab ini disimpan di perpustakaan Universitas Pennsylvania, Sam Fogg, London, pada Desember 2000.

Dalam pengantar buku itu, al-Karaji mengungkapkan, dirinya terinspirasi membuat buku itu ketika tiba di Baghdad. Di metropolis intelektual dunia itu,  ia melihat  semua orang, dari mulai anak-anak hingga orang tua sangat mencintai ilmu pengetahuan. Hal tersebut mendorongnya untuk mengarang buku matematika, khususnya mengkaji aritmatika dan geometri.

Sekembali dari Baghdad, ia kemudian mulai melakukan penelitian ilmiah. Berbekal dukungan dari penguasa Muslim bernama Abu Ghanim Ma’ruf bin Muhammad, al-Kajari lalu  meneliti dan mencurahkan pikirannya bagi pengembangan hidrologi. Ia lalu memutuskan untuk menulsi buku tentang air yang  tersembunyi di perairan.

Inbat al-Miyah al-Khafiya merupakan  karya manual tentang hidrolik air yang sangat baik. Selain membahas hidrologi, buku ini juga berisi beberapa catatan biografis otomatis, serta diskusi dari serangkaian konsep relatif terhadap geografi dunia. Tak hanya itu, buku ini juga dilengkapi dengan beberapa pertanda dalam fenomena alam, dan memberikan perhatian yang besar untuk survei teknik, terutama hidrologi.

Penulis menjelaskan jumlah instrumen survei, dasar geometris yang ia jelaskan dengan rincian nyata tentang konstruksi dan cara kerja  qanat. Al-Karaji juga menjelaskan terowongan bawah tanah (ia membuat sebuah kiasan untuk  Isfahan) untuk menyediakan air  di tempat gersang.

“Dia juga membahas dasar legalitas pembangunan sumur dan saluran hidrolik. Di sini dia merujuk kepada sekolah fiqh (hukum Islam) dan menunjukkan bahwa dia menyadari hukum dimensi hidrologi, sebagai techno-disiplin ilmu terkait erat dengan masyarakat dan ekonomi,” jelas Muhammad Abattouy.

Sebagai risalah ilmiah, buku ini merupakan kontribusi asli dalam hidrologi, survei dan aspek lain dari geologi, dan membuktikan lanjutan kepada pengetahuan tentang tanah sekitar abad ke-10 M di  dunia Islam. Al-Karaji mengungkap secara mendalam dan tentang teori tanah yang terbilang sulit untuk dipahami.  Kontribusinya dalam bidang ini adalah yang tertua yang dikenal dalam bentuk teks pada subjek.

Pengetahuannya tentang air bawah tanah pada umumnya sesuai dengan pemahaman subjek modern.  Walaupun ia tidak pernah menampilkan seluruh siklus seperti yang kita tahu, ia mencatat dalam berbagai petikan dari bukunya masing-masing tahap individu.

Isi buku kira-kira dapat diringkas sebagai berikut. Risalah yang dibagi menjadi 25 bab  dapat dikelompokkan dalam tujuh bagian atau bagian. Bagian pertama adalah sebuah pengenalan risalah, dimulai dengan  basmalah dan penegasan bahwa  buku itu didedikasikan kepada Menteri Abu Ghanim Ma’ruf bin Muhammad..

Pada bagian kedua (bab 2 hingga 11), penulis menjelaskan berbagai pertimbangan alam pada filosofi alami geologi, aspek bumi, air tanah, sumber air, pegunungan, berbagai jenis air, metode untuk membedakan antara air, danpertimbangan tentang tanah. Bagian ini merupakan dasar risalah dalam istilah ilmu pengetahuan karena kontekstual hidrologi yang lebih besar dalam bidang geologi dan ilmu alam.

Sedangkan, pada bagian ketiga (bab 12 hingga 14), terdiri dari risalah hukum konten berdasarkan argumen dari berbagai faham atau aliran Islam tentang hukum mengenai qanat, penggaliannya, karakteristik dan penggunaan. Bagian ini adalah latar belakang sosial dari karya.

Bagian keempat (bab 15 hingga 17), berpusat pada tema teknik dalam hidrologi, terutama yang relevan dengan transportasi air, penggalian qanat, air aqueducts dan keterangan yang diperlukan teknik untuk pemeliharaan mereka.Bagian kelima (bab 18- hingga 19) membahas tentang survei dan instrumen, keterangan selanjutnya dan demonstrasi teorem penggunaannya, pelaksanaan survei teknik di hidrologi.

Pada bagian keenam (bab 20 hingga 24), membahas tentang analisis survei metode dan instrumen lanjutan.  Al-Kajari menjelaskan survei instrumen tradisional dan prosedurnya. “Dalam bab 23, ia menjelaskan beberapa instrumen yang berhasil ditemukannya,” jelas Donald R Hill, dalam karyanya Islamic Science and Engineering. Bagian ketujuh (bab 25), merupakan pendalaman dari semua bab. Pada bab itu pula, al-Karaji memberikan beberapa nasihat praktis kepada sang menteri yang menyeponsori penulisan buku itu.

Buku al-Karaji merupakan naskah tertua tentang ilmu air bawah tanah. Isinya sangat menakjubkan. Ia telah akrab dengan konsep baru dan prinsip-prinsip yang melekat dengan siklus hidrologis, klasifikasi dari tanah, gambaran aquifers, dan mencari air tanah.

“Banyak dari buku Al-Karaji berkaitan dengan teknik untuk mengeksplorasi tanah, terutama untuk menggali sumur dan qanat. Ia menjelaskan metode yang masih digunakan di banyak negara di Timur Tengah dan Asia,” jelas Mehdi Nadji dan Rudolf  Voight dalam karyanya Exploration for Hidden Water by M. Karaji: The Oldest Textbook on Hydrology Groundwater.

Mengenal Qanat Karya al-Karaji

Qanat adalah teknik irigasi yang khusus untuk memanfaatkan air bawah tanah dengan menggunakan pipa.  Pada era keemasan Islam, qanat merupakan salah satu metode yang paling efektif untuk menyediakan air. Teknik itu kemungkinan berasal dari utara Iran pada era kuno, namun tahap sistem pengadaan air ini melalui jarak jauh telah di gunakan secara luas di dunia Muslim di abad pertengahan dan hingga masa modern.

Berdasarkan perkiraan, sekitar 75 persen air yang digunakan di Iran berasal dari qanat yang panjangnya lebih dari 100 ribu mil. Di luar Iran, qanat masih digunakan pada beberapa bagian negara Islam, terutama di tenggara  Semenanjung Arab dan Afrika Utara. Sistem Qanat yang telah digunakan opada era Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah.

Khalifah al-Mutawakkil (847-866 M) membangun sebuah sistem qanat untuk memasok air ke istana baru di Samarra. Dalam Inbat al-Miyah al-Khafiyya, menurut Muhammad Abattoey, al-Karaji mengungkapkan secara rinci dan baik tentang pembangunan saluran qanat, lapisannya, perlindungan terhadap kerusakan, pembersihan dan pemeliharaannya.

Satu bagian dari buku itu dikhususkan untuk membahas teknik menjelajahi air tanah, terutama untuk menggali qanat di daerah berpasir. Sebagai contoh, ia menjelaskan cara survei tentang kemiringan qanat dan bagaimana bekerja di bawah keadaan yang sulit. Pada keadaan tertentu, al-Karaji menyarakan agar pembangunan qanat dihentikan, karena bisa membahayakan keselamatan.

Kesimpulannya, tampak jelas bahwa Al-Karaji telah akrab dengan dasar hidrologi, geologi, teknik dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan tanah air, yang dikenal saat ini. Al-Karaji memamerkan keterampilan dan keahlian yang luas  dalam diskusi tentang  pembangunan qanat, klasifikasi tanah,  mencari air tawar/jernih, dan pengetahuan dalam berbagai jenis aquifers dan karakteristik hidrolis. Al-Karaji pun dikenal sebagai pelopor karya struktur geologi pada penggunaan tanaman tumbuh sebagai indikator dari tanah air waduk (aquifers).

Sumber: http://ristu-hasriandi.blogspot.com/2009/08/studi-hidrologi-dalam-khazanah-islam.html

Posted in Wawasan | Tagged: | Leave a Comment »

Bukhara, Kota Ilmu Pengetahuan

Posted by WD on September 27, 2008


”Gudang lmu Pengetahuan!” Begitu sastrawan besar Iran, Ali Akbar Dehkhoda menjuluki Bukhara — salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Islam. Penyair Jalaludin Rumi pun secara khusus menyanjung Bukhara.

”Bukhara sumber pengetahuan. Oh, Bukhara pemilik pengetahuan,” ungkap Rumi dalam puisinya menggambarkan kekagumannya kepada Bukhara tanah kelahiran sederet ulama dan ilmuwan besar.

Konon, nama Bukhara berasal dari bahasa Mongol, yakni ‘Bukhar’ yang berarti lautan ilmu. Kota penting dalam jejak perjalanan Islam itu terletak di sebelah Barat Uzbekistan, Asia Tengah. Wilayah itu, dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Wa Wara’ an-Nahr atau daerah-daerah yang bertengger di sepanjang Sungai Jihun.

Letak Bukhara terbilang amat amat strategis, karena berada di jalur sutera. Tak heran, bila sejak dulu kala Bukhara telah menjelma menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, budaya dan agama. Di kota itulah bertemu pedagang dari berbagai bangsa di Asia barat termasuk Cina. Lalu sejak kapan Bukhara mulai dikenal?

Menurut syair kepahlawanan Iran, kota Bukhara dibangun oleh raja Siavush anak Shah Kavakhous, salah satu Shah dalam cerita dongeng Iran yang berasal dari Dinasti Pishdak. Secara resmi, kota itu berdiri ada sejak tahun 500 SM di wilayah yang kini disebut Arq. Namun, oasis Bukhara telah didiami manusia mulai tahun 3000 SM, yakni semasa zaman perunggu.

Wilayah Bukhara, sejak 500 SM sudah menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Persia. Seiring waktu, Bukhara berpindang tangan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya, seperti Aleksander Agung, kekaisaran Hellenistic Seleucid, Greco-Bactaian, dan Kerajaan Kushan.

Selama masa itu, Bukhara menjadi pusat pemujaan Anahita. Dalam satu putaran bulan, penduduknya biasa merayakan ritual ibadah dengan mengganti berhala yang sudah usang dengan berhala yang baru. Sebelum Islam menaklukan wilayah itu, penduduk Bukhara adalah para penganut agama Zoroaster yang menyembah api.

Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang membawa dakwah. Pada akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi’ bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu’awiyah, Khalifah Bani Umayyah memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukan Bukhara.

Pasukan tentara Islam pertama menjejakan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah pimpinan panglima perang, Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.

Tepat pada tahun 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.

Pedagang dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di kota Bukhara pun berkembang bisnis pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.

Selain itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran, bila kemudian nama Bukhara makin populer.

Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia Islam. Saat itu, di kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya menndidikan putera-puterinya dengan sisitem home schooling atau sekolah di rumah.

Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun. Setelah itu, anak-naka di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.

Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika, jurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Persia dan Uzbek.

Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.

Pada tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan Dinasti Salajikah. Tak lama kemudian, diambli alih Dinasti Khawarizm. Pada masa itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan Islam masih tetap dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan Ala’udin Muhammad Khawarizm Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai meredup.

Pada tahun 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dengan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan bruta yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota, membakar madrasah, masjid dan bangunan penting lainnya.

Jengiz Khan meluluh-lantakan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata:ka an lam tagna bi al-amsi (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuan yang terpancancar dari Bukhara pun meredup.

Nasib tragis ini, 38 tahun kemudian dialami pula oleh Baghdad, ketika Hulagu Khan keturunan Jengiz Khan menghancurkan metropolis intelektual abad pertengahan itu dengan bengis dan sadis.


Ulama dan Ilmuwan Besar dari Bukhara

Masa kejayaan Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan telah melahirkan sederet ulama dan ilmuwan besar dari Bukhara. Hal itu menunjukkan bahwa Bukhara memiliki pengaruh yang besar pada era keemasannya. Di antara tokoh-tokoh besar asal Bukhara itu memberi kontribusi yang besar bagi perkembangan agama Islam dan ilmu pengetahuan itu antara lain: Imam Bukhari

Imama Bukhari
Imam Bukhari terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan dengan 21 Juli 810 M. Ia adalah ahli hadits termasyhur. Imam Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu hadits. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.

Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan penglihatannya. Bersama gurunya Syekh Ishaq, ia menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80 ribu perawi disaringnya menjadi 7.275 hadits. Ia menghabiskan waktunya untuk menyeleksi hadits shahih selama 16 tahun. Shahih Bukhari adalah salah satu karyanya.

Ibnu Sina
Terlahir di Afsyahnah, Bukhara pada 980 M. Ibnu Sina adalah seorang filsuf, lmuwan sekaligus dokter. Ia dijuluki sebagai ‘Bapak Pengobatan Modern’. Buah pikir dan karyanya dituangkan dalam 450 buku, sebagaian besar mengupas filsafat dan kedokteran. Ibnu Sina merupakan ilmuwan Islam paling terkenal. Hasil pemikiran yang paling termasyhur dari Ibnu Sina adalah The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb).

Selain itu, era tamadun Bukhara juga telah melahirkan sosok ulama dan Ilmuwan sepertih Abu Hafsin Umar bin Mansur Al-Bukhari yang dikenali dengan nama Al-Bazzar, Al-Hafiz Abu Zakaria Abdul Rahim Ibnu Nasr Al-Bukhari, Abdul rahim bin Ahmad Al-Bukhari, dan Abu Al-Abbas Al-Maqdisi Al-Hambali.

Di bidang sastra, Bukhara juga telah menghasilkan sederet sastrawan dan penyair kondang. Para penyair dan sastrawan kelahiran Bukhara telah menisbahkan nama mereka kepada Bukhara. Para penyair dan sastrawan dari Bukhara itu antara lain;i Ar-Raudaky, Fadhil Al-Bukhari, Am’aq Al-Bukhari, Al-Khajandi, Lutfullah An-Naisaburi, serta Ahmad Al-Karamani.

Bukhara di Era Modern

Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan yang penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada tahun 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.

“Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.

Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam ‘permainan besar’ antara Rusia dengan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.

Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajiks membenyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand kepada Uzbekistan.

( heri ruslan )
Republika

http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=349

Posted in Suplemen, Uncategorized | Tagged: , , | Leave a Comment »

Ilmu Militer Dalam Peradaban Islam

Posted by WD on September 24, 2008


Pada era Khalifah Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang pesat. Sedangkan, pada jaman Salahudin, ada buku manual militer karya Al-Tharsusi (570 H/1174 M) yang membahas keberhasilan menaklukan Yerussalem.

Semenjak awal Islam memang menaruh perhatian khusus mengenai soal perang. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah meminta agar para anak lelaki diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah peperangan seperti legenda Daud dan Goliath juga dikisahkan dengan apik dalam Alquran. Bahkan, ada satu surat di Alquran yang berkisah tentang `heroisme’ kuda-kuda yang berlari kencang dalam kecamuk peperangan.

”Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan musuh.” (Alquran, surat Al ‘Adiyat 1-4). Kaum muslim sebenarnya pun sudah menulis berbagai karya mengenai soal perang dan ilmu militer. Berbagai jenis buku mengenai ‘jihad’ dan pengenalan terhadap seluk beluk kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku yang terkenal dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Catologue yang merupakan karya Ibnu Al-Nadim (wafat antara 380 h – 338 H/990-998 M).

Dalam karya itu, Al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah al-Manshur dan al-Ma’mun.

Bahkan, pada periode kekuasaan Khalifah Al -Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat pesat. Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan dengan serangan bangsa Mongol.

Pada zaman Salahudin, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh Al Tharsusi, sekitar tahun 570 H/1174 M. Buku ini membahas mengenai keberhasilan Salahudin di dalam memenangkan perang melawan bala tentara salib dan menaklukan Yerusalem. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab, meski sang penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas mengenai ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan.

Buku lain yang membahas mengenai militer adalah karya yang ditulis oleh Ali ibnu Abi Bakar Al Harawi (wafat 611 H/1214 M). Buku ini membahas secara detil mengenai soal taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap tentang pasukan muslim di medan tempur dan dalam pengepungan.

Pada lingkungan militer Kekhalifahan Mamluk menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda atau fuusiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.

Contoh buku yang lain adalah karya Al Aqsara’i (wafat74 H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concering the Science of Horsemenship. Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas soal kuda, pasukan, dan senjata, namun sudah membahas mengenai doktrin dan pembahasan pembagaian rampasan perang.

Al Aqsara’i menulis dalam buku itu menyatakan bahwa ia memaparkaN sejumlah pengetahuan menyangkut seni militer yang berasal dari zamannya sendiri, misalnya bagaimana menggambarkan sebuah model yang berkualitas dari sosok prajurit kaveleri yang ulung. Sebagai pelengkapnya, Aqsara’i di dalam buku ini juga menambahkan karya Tacticus Aelian, sebagai karya yang ditulis di Yunani saat kaisar Romawi Hadrian berkuasa, sekitar tahun 106 M.

Sedangkan karya ilmu militer yang dibuat praktis sebagai panduan untuk para pemimpin negara ketika hendak membuat kebijakan mengenai perang, di antaranya adalah karya Nizham Al Mulk (wafat 485 M / 1099 M). Dia menulis karya ini sebagai persembahan bagi Sultan Saljuk: Malikiyah. Di dalamnya terdapat bab-bab mengenai soal mata-mata, kurir, komposisi etnik dalam pasukan, sandera, persiapan senjata, dan peralatan untuk berperang. Buku lain yang tak kalah penting adalah Wisdom of Royal Glory (Kebijakan dari Kemegahan yang Agung), karya Yusuf Khashsh Hajib. Buku ini ditulis pada 1069 M di Kashgar, Asia Tengah, di bawah Dinasti Karakhany.

Karya ini adalah monumen literature Islam tertua yang masih ada dalam bahasa Turki serta termasuk dalam genre litelatur istana karena mengajarkan cara memerintah kepada penguasa. Isi buku ini cukup lengkap membahas persoalan militer. Bukan hanya membahas soal pelatihan dan sejata saja, namun litelatur ini menyediakan pembahasan mengani penyediaan sumber daya manusia bagi pembentukan bala tentara yang tangguh.

Tentara Bayaran Kekhalifahan Fatimiyah

Dari sekian banyak variasi dan bentuk ilmu militer peninggalan peradaban Islam, salah satunya adalah munculnya fenomena tentara bayaran sebagai penopang utama sebuah pemerintahan. Hal ini terjadi pada Kekhalifahan Fatimiyah di Mesir.

Masa pemerintahan dinasti ini berlangsung hampir dua abad lamanya, antara tahun 909 M hingga 1171 M. Nama Fatimiyah yang mereka pakai adalah sebagai ‘klaim’ bahwa penguasa dinasti ini adalah masih keturunan Nabi Muhammad Saw dari garis puterinya: Fatimah.

Mereka terpaksa memakai tentara bayaran karena dinasti yang memusatkan pemerintahannya di Mesir ini adalah penganut Syiah Ismailiyah. Padahal waktu itu pengikut syiah adalah kelompok minoritas di Kota itu. Penduduk Mesir sebagian besar menganut Islam suni.

Jadi, tentara bayaran oleh Kekhalifahan Fatimiyah dipakai sebagai jalan keluar untuk melanggengkan kekuasaan karena warga Mesir memang tidak suka kepadanya. Selain itu, legiun ini juga dipakai sebagai alat untuk membasmi berbagai pemberontakan.

Lalu dari mananakah anggota tentara bayaran itu berasal? Ada dua kelompok besar tentara bayaran milik Kekhalifahan Fatimiyah. Pertama, adalah resimen kulit hitam atau Zawila. Anggota legiun tentara ini direkrut dengan cara membeli dari pasar budak yang pada saat itu banyak bermunculan di Afrika, terutama di pusatnya yang berada di dekat Danau Chad.

Kelompok tentara bayaran kedua adalah divisi yang anggotanya berasal dari Eropa Sakalaba atau yang kerap dipanggil dengan sebutan Bangsa Slav. Bangsa ini memang saat itu bernasib sangat malang. Sebagai bangsa termiskin di Eropa Timur, mereka akhirnya harus menjadi budak untuk bertahan hidup.

Bahkan, kata slav, yang berarti budak, awalnya merujuk kepada nama bangsa ini. Para penguasa Fatimiyah mendapatkan tenaga militer bangsa Slav dengan cara membeli dari pasar budak yang berada di sekitar wilayah Italia.

Sebagi tentara bayaran kemampuan bertempur mereka jelas tak perlu diragukan lagi. Baik bangsa Slav maupun Zawila sudah lama dikenal sebagai bangsa yang jago bertempur. Kekuasaan Fatimiyah ini kemudian memanfaatkan kemampuan tempurnya untuk menaklukan berbagai wilayah, seperti Sisilia (948 M), Mesir (969 M), dan SijilmasaT, serta Fez pada tahun 978 M.

Merekamenyerbu tempat itu dengan dukungan kekuatan pasukan bayaran yang jumlahnya cukup besar, yakni mencapai 50 ribu hingga 100 ribu orang.

Namun, selain punya kemampuan tempur yang mumpuni, ternyata beberapa orang diantara para legiun bayaran itu ternyata banyak mempunyai kemampuan berpikir yang cukup memadai. Salah seorang diantaranya adalah Jauhar. Dia adalah mantan budak Romawi keturunan Yunani Sisilia.

Ketika menaklukan Mesir, seorang Khalifah Fatimiyah, memerintahkan Jauhar (orang barat memanggilnya Jawhar) membangun kota baru, yang diberi nama Kairo (kini ibukota Mesir modern). Batu pertama pembangunan kota itu diletakan sendiri oleh Jauhar.

Sedangkan, sebagai puncak restasi dari legiun bayaran ini adalah ketika mereka berhasil menguasai pusat Dinasti Abbbasiyah, yakni kota Baghdad pada tahun 1058 M. Salah satu hasil rampasan perang yang sempat didapatkan sebagai tanda takluk dari penguasa Baghdad saat itu adalah sebuah jubah peninggalan Nabi Muhammad SAW.

Kemampuan tempur yang tinggi dari bangsa Slav itu masih bisa dijejaki hingga 900 tahun kemudian. Pada Perang Dunia I dan II, banyak bangsa Slav banyak terlibat dalam perang paling berdarah itu. Tapi berbeda tujuannya dengan dahulu, kini mereka ikut berperang bukan untuk mendapatkan bayaran semata. Mereka terlibat dalam pertempuran dengan tujuan meraih kemerdekaan.

Jejak Jauhar di Al-Azhar

Siapa pun tak menyangka bila hasil karya mantan budak yang kemudian menjadi Panglima Besar Dinasti Fatimiyah, Jauhar As-Shaqaly, abadi hingga kini. Salah satunya adalah sebuah perguruan tinggi Islam terbesar di dunia yang ada di Kaior, yakni Al-Azhar.

Jauhar membangun perguruan ini pada berawal dari sebuah masjid yang bernama Al-Azhar yang dibangun oleh Jauhar As-Shaqaly (Panglima Besar Dinasti Fathimiyah) pada tanggal 24 Jumadil Ula tahun 359 H April, 970 M. Kegiatan pembangunan ini baru selesai enam tahun kemudian atau tepatnya pada 365 H / 976 M.

Pada tahun itu pula dimulai kegiatan belajar mengajar dengan majelis ilmu pengetahuan bermadzhab Syi’ah Ismailiyah. sehingga 12 tahun kemudian 378H / 988. Pengaruh pemikiran syiah baru berakhir pada 1178 M atau bersamaan dengan meredupnya pengaruh pemerintahan Kekhalifahan Fatimiyah. Keberadaan pemerintahan ini kemudian diganti dengan Kekhalifahan Ayyubiyah yang berorientasi kepada ajaran ahlussunah wa-jamaah (suni).

Bahkan, pada tahun 922 H / 1517 M, ketika Mesir berada di dalam kekuasaan Turki Utsmani, Al-Azhar pun senantiasa menjadi sentral pengembangan ilmu pengetahuan. Begitu pula keadaannya hingga memasuki era Turki Utsmani. Kegemilangan perguruan tinggi ini tetap terjaga.

Bahkan pada saat itu Al-Azhar memperbaharui sistem pendidikannya dengan membentuk sistem masyekhakh yang pertama, pada tahun 1101 H / 1690 M. Sistem ini pun terus berlangsung sampai kini. Jadi inilah salah satu peninggalan panglima tentara bayaran yang merupakan bekas budak Romawai keturunan Yunani Sisila, Jauhar As-Shaqaly.

(uba/dari berbagai sumber )
Republika

http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=335

Posted in Suplemen | Tagged: , , | Leave a Comment »