sumber: http://swaramuslim.net/islam/more.php?id=A643_0_4_0_M
Apa yang Kau Bawa ke Jakarta?
Banyak orang bertanya-tanya, mengapa seorang cucu pendiri Al-Ikhwanul Muslimun, gerakan Islam terbesar yang lahir di Mesir, datang ke Indonesia atas undangan kelompok-kelompok sekular seperti Paramadina dan Jaringan Islam Liberal? Kenapa seorang tokoh Muslim Eropa harus didatangkan ke negeri ini oleh kedutaan besar Swiss di tengah perang terhadap apa yang disebut “kaum fundamentalis”? Mengapa harus Mizan, yang diasosiasikan sebagai penerbit berhaluan Syi’ah, yang menjadi sponsor utamanya? Adakah ia didatangkan kemari untuk menjinakkan gerakan-gerakan Islam?
Berbagai pertanyaan itulah juga yang dibawa redaktur Majalah Hidayatullah Dzikrullah dan kontributor kami Khadijah Hawari, saat di suatu pagi pertengahan Juli lalu mendatangi rumah mungil yang disewakan untuk Tariq Ramadan sekeluarga selama di Jakarta. Iman, isterinya yang ramah, dan anak-anaknya Maryam, Sami, Moussa, dan Najwa ikut menemaninya selama dua pekan sekalian berlibur musim panas, menjauh dari dinginnya Switzerland.
Di Eropa, Tariq dikenal sebagai tokoh muda yang semakin diterima luas baik di kalangan Muslim maupun non-Muslim, karena pandangan-pandangannya tentang posisi ummat Islam di benua itu.
Lahir di Jenewa, 40 tahun lalu, ia mengaku dibesarkan oleh orang tua yang ketat menjalankan Islam. Ayahnya, Sayyid Ramadhan putera Hasan Al-Banna terpaksa hidup di pengasingan karena tekanan rezim Gamal Abdel Nasser. Kini Tariq yang kalem dan langsing, mengajar filsafat di College of Geneve dan mengajar Kajian Islam di Fribourg University, dan telah menulis tiga buah buku tentang Islam, Muslim dan Barat, serta ratusan makalah.
Boleh saja, majalah TIME mengangkatnya sebagai salah satu “inovator dunia di bidang spiritualitas”. Tapi rupanya tukang copet di Pondok Indah Mal tak peduli siapa korbannya. Baru beberapa hari di Jakarta, tas tangan Tariq raib saat ia dan keluarga berbelanja di pasar mewah itu. Telepon genggam, kartu-kartu kredit, dan uang senilai 35 juta rupiah melayang. “Seumur hidup saya tak pernah kecurian, malah dicopet di negara Muslim terbesar di dunia,” katanya kepada kawannya yang mengantar. Saat ditanya dua hari kemudian ia cuma tersenyum. Isterinya berkata kepada majalah ini, “Alhamdulillaah ‘ala kulli haal.” Silakan berkenalan dengan Tariq Ramadan.
Ceritakan pada kami masa kecil Anda.
Kehidupan kami sangat sulit di pengasingan. Ayah saya meninggalkan Mesir karena tekanan Nasser pada tahun 1954 menuju Damaskus, lalu ke Lebanon, kemudian ke Eropa. Tadinya ayah memilih London, tapi kemudian akhirnya tiba di Swiss (1958) di mana masyarakat Muslimnya masih sangat sedikit.
Saya merasakan langsung …. >> Selanjutnya … Download