Oleh: DR. Hidayat Nur Wahid
Sewaktu tamat SD saya ingin sekali jadi dokter. Karena di tempat saya lahir di Prambanan, hanya ada satu dokter dan di kampung dimana saya tinggal hanya ada satu mantri kesehatan. Betapa mulianya mereka karena bisa membantu tetangga, bisa membantu sesama, memberikan obat, membantu kesembuhan penyakit. Saya ingin seperti mereka.
Eh… oleh ayah saya malah dikirim ke pesantren Gontor, ya sudah. Tapi waktu saya dikirim ke Gontor, yaa saya tidak menyesal, tidak pula menyesali ayah yang sudah mengirim saya ke sana. Disana saya belajar dengan serius hingga teman-teman pesantren menyebut saya dengan kutu buku, yaaa orang menyebut saya sangat rajin. Kalau di pesantren ada istilah sairolaya yang artinya begadang. Saya juga membentuk grup untuk qiyamul lail dan grup puasa senin-kamis dengan teman-teman saya. Dan jangan pernah membayangkan di pesantren, kalau makan dan minum seadanya yang ada di pesantren.
Di pesantren saya ikuti seluruh kegiatan, silat, kursus sastra inggris dan arab, termasuk jahit menjahit saya ikuti. Dan yang menjadi andalan saya adalah kegiatan pramuka. Setamat dari Gontor yaaa Alhamdulillah hasil raport saya kalau tidak peringkat satu yaa dua.
Selesai dari Gontor saya masih terobsesi menjadi dokter, lalu saya mendaftar di UGM. Tapi apa, kiai saya bilang: kalau kamu mau keluar negeri supaya bahasa arab kamu menjadi lebih baik, saya kasih ijazah.
Sesungguhnya pesantren saya tidak pernah mengeluarkan ijazah. Saya pikir dengan begini pesantren saya menolak untuk memberikan ijazah, tapi ternyata saya malah dikasih ijazah oleh kiai saya itu. Kemudian ada senior saya yang mendapatkan ijazah melalui kursus bahasa arab. Dia mengatakan, kok ijazah daro Gontor cuma digunakan di dalam negeri yaa mubazir. Akhirnya senior saya itu mengambil ijazah saya dan mengirimkannya ke Madinah. Jadi bukan saya yang mengirim ijazah ke Medinah, senior saya yang kirim. Dan jadilah saya kuliah di Madinah. Disana saya sempat ikut organisasi, menjadi pemimpin persatuan pelajar Indonesia di Saudi Arabia. Saya juga aktif di olahraga, saya termasuk orang yang membuat lapangan badminton di kampus. Sampai saat ini saya masih main badminton. Saya juga pernah ikut lomba balap lari di padang pasir. Pernah ketika berlari di padang pasir di pagi hari saya dikejar anjing serigala. Saya pikir sudah berlari di padang pasir, dikejar anjing juga…
Terus terang Saya agak takut juga dikejar anjing serigala waktu itu. Tapi saya teringat di Indonesia kalau dikejar anjing, kita duduk anjingnya balik. Mungkin ini spekulatif, tapi mungkin juga ada bahasa internasional para anjing. Jadi begitu dikejar, saya duduk. Ternyata anjing itu berhenti dan balik lagi tidak jadi mengejar. Ternyata memang sama bahasanya sesama para anjing. Anjing-anjing itu kabur dan selamatlah saya.
Di Madinah pun saya aktif mengikuti kegiatan olahraga, organisasi, pramuka dan belajar juga saya giatkan. Dan demikianlah saya mengikuti kuliah jenjang S1 dan S2 tanpa pernah meminta, bahkan saat S2 saya minta pulang karena ingin berdakwah di tanah air. Tapi apa daya, saya kembali dipaksa kuliah melanjutkan ke S3. Mungkin satu-satunya di dunia kuliah S3 yang dipaksa, maksanya pun pake merayu segala. Oleh dosen pembimbing saya diajak keliling kota Madinah oleh mobil pribadinya, beliau sendiri yang menyetir. Beliau Direktur Pasca Sarjana di Universitas Madinah. Sepanjang jalan belau merayu saya supaya mau masuk program S3. Seluruh argumentasi beliau bisa saya jawab. Hanya satu yang tidak bisa saya jawab yakni ketika beliau mengatakan: anda kok ngotot mau pulang?apakah anda sudah mumpuni, seluruh ilmu sudah anda kuasai sehingga anda tidak pelu lagi belajar? Dengan pertanyaan itu, saya mati kutu. Siapa yang sudah mumpuni, siapa orang yang sudah tidak perlu ilmu lagi?
Justru kata kiyai saya, kalau anak-anakku pulang ke masyarakat, itu artinya anak-anakku akan belajar lagi ilmu dari masyarakat. Dia akan belajar lagi. Saya terdiam, dan kemudian beliau memerintahkan besok masukkan proposal ke program S3. Dan akhirnya masuk. Dengan begitu semakin jauh lah cita-cita saya. Dari awal menjadi dokter akhirnya menjadi doctor.
Ketika pulang ke Indonesia, saya inginnya pulang ke Yogyakarta dekat dengan prambanan, tempat dimana saya dilahirkan. Tapi apa boleh buat, sekali lagi cita-cita saya kandas di tengah jalan. Teman-teman saya di Jakarta “megangin tangan” saya. Sudah di Jakarta saya inginnya jadi aktivis, jadi dosen. Eh…kawan-kawan justru bikin partai. Pendapat saya waktu itu kita jangan buat orpol dulu ormas saja. Supaya gak lompat jauh dari LSM ke Parpol. Tapi ternyata tidak. Gak lama bikin ormas lalu bikin orpol. Kan lompatnya jauh. Suara saya di Syuro kalah. Apa boleh buat saya harus mengikuti hasil syuro itu. Setelah kalah suara justru disuruh menjadi deklarator, disuruh menjadi presiden…presiden partai maksud saya.
Itu semuanya diluar dari apa yang saya cita-citakan. Karenanya berprestasi atau nggak, gak ngerti saya. Karena semua yang saya ceritakan diluar dari cita-cita saya. Tapi selama ini yang saya lakukan ketika mendapatkan posisi, apapun itu, saya laksanakan dengan maksimal. Mulai dari kuliah S1, S2, S3 justru yang mengajukan bukan saya. Saya belajar dengan maksimal ditempat dimana saya diamanahkan di sana. Sampai akhirnya saya menjadi Ketua MPR ya sudah, saya terima apa adanya. Dulu saya gak pernah baca Undang Undang Dasar, gak pernah tahu ayat-ayat kecuali ayat Al Qur’an dan ayat-ayat cinta. Sekarang ini, “terpaksa” saya harus baca dan bahkan menghapal UUD 1945 diluar kepala. Kalau sekarang kita berdebat soal Undnag Undang yaaa, inysa Allah saya bisa mengalahkan anda. Otomatis, itu yang saya lakukan, memaksimalkan pekerjaan. Jadi kalau boleh disebut, apa yang saya lakukan , apapun amanah yang saya dapat, saya mengerjakannya dengan maksimal. Menurut saya berapa jam tidurnya tidak menjadi ukuran orang bisa berprestasi atau tidak. Sesuaikan saja dengan tantangan pada hari itu apa.
Oleh: DR. Hidayat Nur Wahid